Senin, 15 Desember 2008

Hukuman mati

Oleh: Herly Moenara

Pada satu pagi seorang hakim datang ke rumah seorang walikota. Maksudnya untuk meminta petunjuk.
"Yang mulia bapak wali kota, saya sedang menghadapi dilema yang sangat berat"
"Apakah kamu kesulitan memutuskan satu perkara, wahai saudara hakim"
"Tepat yang mulia bapak wali kota"
"Perkara apakah itu"
"Ee... seorang pemuda mengedarkan berkilo-kilo heroin, yang mulia"
"Hukuman apa yang seharusnya diterima pemuda itu, wahai saudara hakim"
"hukuman mati yang mulia bapak walikota"
"laksanakanlah"
"tapi...."
"Laksanakanlah"
Keesokan paginya ramai berita di koran tertulis:
Seorang hakim mati dibunuh dengan peluru bersarang dikepalanya dan seorang pemuda pengedar heroin telah dieksekusi di tiang gantungan. Sementara, di rumah walikota dalam keadaan berkabung. Seorang perempuan paruh baya menangisi kematian anaknya.

Sukabumi, 1997

Indonesia, Negeri yang Pernah Ada

Oleh : Herly Moenara

Seorang cucu bertanya pada kakeknya, gurunya bercerita :
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya bernama negeri Indonesia. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya sekali tanahnya sangat subur, hingga ada lagu, tombak, batu dan kayu jadi tanaman. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya sekali orang-orangnya penuh kedamaian, senang membantu sesamanya. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya pernah juga rakyatnya dilarang berbicara, koran, majalah, buku, televisi, radio dibredel. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya pernah juga petaninya kehilangan tanahnya berubah menjadi lapangan golf dan perumahan mewah. "Betulkah itu, kek?"Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya pernah nyaris menjadi negara hebat ketika penguasa tunggal jatuh. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya pernah terjadi perkelahian tokoh-tokoh politik yang haus kekuasaan. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini dulunya pernah terjadi saling bunuh diantara rakyatnya sendiri, kepalanya dipenggal. "Betulkah itu, kek?"
Bahwa di bumi yang dipijaknya ini akhirnya negeri itu bubar. "Betulkah itu, kek?"
Sang kakek terdiam, dari kedua matanya mengalir deras air mata jatuh ke bumi, hanyut menderas di sungai yang dulunya dikenal dengan kali Ciliwung.


Bogor, April 2001

Lay Tay

Oleh: Herly Moenara

Tiba-tiba kepalanya terantuk meja kerjanya. Cukup keras benturan itu. Untung saja kepalanya itu tak mengenai pisau pembuka amplop yang berdiri tegak menantang di tempat pensil. Kurang tujuh senti lagi kearah kanan. Biasanya tempat pensil itu berada dimeja printer yang terletak disamping meja kerjanya dengan jarak sekitar sepuluh senti dari meja kerjanya, tapi ketika itu Lalang meletakkannya dimeja kerjanya sebelah kanan dekat mouse pad bekas dipakainya membuka amplop surat dari Siesie kekasihnya. Tuhan belum menakdirkannya untuk mati, soalnya andai kata tujuh senti ke arah kanan tepat di jidat dan bisa menembus tengkorak kepala yang relatif ranum mengoyak otak dan sarafnya.

Begitu kepalanya membentur meja Lalang reflek bangun dan ia menyadari dirinya telah tertidur dan kepalanya terantuk meja. Sambil memegang jidatnya, diliriknya sebelah kanan mejanya pisau pembuka amplop menjulang bagian tajamnya ke atas. Seketika bergeletar hatinya, darahnya terkesiap, badannya terasa lemas seperti dilolosi tulang-belulangnya, persendiannya gemeretuk ngilu, perasaan aneh mengaduk-aduk dadanya, perutnya menjadi mual, kepalanya pusing tak menentu, takut, ngeri, dan bersyukur campur aduk.

Ketakutannya yang selama ini menghantui dirinya nyaris terbukti. Nyaris menjadi nyata. Kematian itu segera menghampirinya. Malaikat pencabut nyawa siap mengajaknya jalan-jalan ke dunia yang sangat terasa asing dan senyap, mengerikan. Tak terbayang bagaimana ketika ruhnya lepas dari jasadnya, sakaratul maut diujung tiba. Badannya mengejang, nafasnya tersengal dan kaku. Nafas Lalang makin memburu, belulangnya masih terasa dilolosi, tanpa disadari keringat panas dan dingin membanjiri seluruh tubuhnya, mengucur mulai dari kepala meluncur ke pipi, jambangnya, sekujur tubuh itu secepat lalu bermandikan keringat yang butirannya sebesar jangung bakar yang telah dipipil disiram bumbu cuka, gula merah dan cabe.

Kembali matanya nanar melihat pisau pembuka amplop yang masih menantang dengan memantulkan kilauannya dari cahaya monitor komputernya. Dipejamkannya matanya sambil perlahan-lahan menarik nafas dalam, sangat dalam, lebih dalam. Berkelebat dalam bayangannya jika kepalanya menembusi pisau pembuka amplop itu. Pisau itu akan melesak masuk membongkah tengkorak kepalanya, dan darahnya itu akan memuncrat, keluar, dipastikan membanjiri mejanya, lantai kamarnya, seisi rumah pun berwarna merah, banjir darah.

“Ketakutan ku selama ini nyaris menjadi kenyataan,” batinnya.

Lampu kamar masih benderang, screen saver tengah bermain-main dilayar komputernya, berarti telah lima belas menit komputer itu tak tersentuh dan selama itu pula ia sudah tertidur. Lagu “Quixote”-nya Bond, empat perempuan instrumentalis masih mengiang dari loud speaker komputernya. Diliriknya tempat tidurnya yang masih tertata rapi tak ada bekas-bekas ditiduri. Terbayang ketika ia bergumul dalam ombak bercintaan yang basah dengan kekasihnya, Sisie, di atas ranjang itu. Gadis peranakan Tionghoa yang telah tiga tahun dipacarinya itu nyaris saja membunuhnya, pasalnya pisau pembuka amplop itu bekas membuka surat darinya. Banyak teman-teman, kerabat-kerabat, saudara-saudaranya yang menasehati untuk memutuskan Sisie, hanya gara-gara Cina. Baginya tak ada alasan untuk melecehkan seseorang karena suku, agama, ras dan golongan. Soalnya tak ada seorang pun yang ketika dilahirkan bisa memilih suku bangsa, ras apa yang dikehendakinya. Tuhan telah memilihkannya.

Bagi Tuhan semua bangsa, suku, ras adalah sederajat tak ada yang lebih, yang membedakan adalah amal perbuatannya. Bahkan Arya sekalipun yang mengklaim sebagai ras paling unggul di dunia adalah sama dengan ras lainnya. Pun dengan raja, orang kaya, pejabat, pengusaha, sama dengan tukang becak, mbok jamu, petani, buruh. Raja dan keturunannya yang dikatakan berdarah biru hanya kiasan semu, tetap saja ketika ditusuk atau terluka air yang muncrat dari tubuhnya tetap merah. Sama saja dengan abang becak, mbok jamu, petani, buruh, juga kelas paria yang katanya menjadi kelas terhina.

Tiga hari tiga malam sengaja ia tak tidur sekejap pun, lima belas menit itulah kejapannya yang pertama selama tiga hari ini. Kesengajaannya tidak tidur bukan karena melembur banyak pekerjaan tapi ia sengaja untuk tidak tidur. Ketakutannya akan kematian. Pikiran itu telah menghantuinya, menakutinya. Kematian yang datang dalam tidurnya. Mengerikan. Sekali tidur dan untuk selamanya. Tak merasakan lagi nikmatnya mata melek pertama setelah tidur dan mengulet ketika bangun.

Otaknya telah teracuni oleh sindrom. Lay tay. Sindrom Lay tay. Tiga hari yang lalu ia membaca artikel di koran. Artikel yang memuat tentang sindrom mati saat tidur. Dikabarkan lebih dari 5.000 orang mati karena sindrom tersebut mulai dari 1981 sampai 1997. Bahkan kabarnya artis Pihilipina, Rico Yan mati saat tidur meski belum diketahui pasti apa penyebabnya.

Lay tay adalah sebutan Thailand untuk sindrom itu. Orang Philipina menyebutnya bangungot. Kuatnya artikel itu meracuni otak Lalang ketakutannya untuk tidur. Kalau tak mau mati jangan tidur, pikirnya. Badannya sudah sangat lemas dan gemetaran, matanya sayu, wajahnya pucat tak berdarah, bak mayat hidup tanpa semangat yang ada semakin kuatnya telikungan perasaan takut akan kematian jika ia tidur.

Ketakutan itu pun memutuskannya untuk tidak menemui Siesie kekasihnya, satu-satunya komunikasi adalah surat dan telepon. Soalnya jika bertemu birahinya selalu menggelora dan selalu berakhir dengan persetubuhan di atas ranjang yang kini masih tertata rapi itu, setelah klimaks selalu tertidur. Itu yang ditakutkannya. Tidur dan mati.

Peristiwa membentur meja yang mengerikan itu pun berlalu seiring berlalunya malam menjadi pagi. Seperti biasa ia pergi ke kantor dan bekerja. Hari-harinya dilalui dengan kecemasan, ketakutan, ngeri. Otaknya digumuli dua kata tidur dan mati. Bukan hanya Rene Descartes filosof asal Perancis yang menyatakan Cogito, ergo sum (aku berfikir maka aku ada), tapi Lalang pun punya falsafah, jika aku tidur maka aku akan mati, jika aku jaga maka aku tak kan mati. Hampir setengah kilo gram kopi dilahapnya selama tiga hari tiga malam itu. Jantungnya semakin berpacu layaknya pacuan kuda yang kerap menjadi ajang perjudian, dag dig dug, debaran jantung itu kerap menjadi irama pemecah kesunyian. Dan selalu jaga.

Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh di kamarnya. Tidak sekeras ketika kepalanya membentur meja. Dan kali ini antukan kepalanya tepat tujuh senti sebelah kanan. Dan Tempat pensil itu pun belum beranjak dari tempatnya, seperti malam kemarin.*****